
(gambar diambil dari devianart)
DUA PULUH tahun
Adalah sebuah benda yang tak ada ujungnya, seperti angin. Angin itu ingin bertiup ke arah mana? Hanya mengikuti arus? Jurangkah atau bukitkah? Atau menuju suatu negara? Amerika, inggris, korea selatan, jepang, chinakah?. Tak tentu dan manusia hanya mempunyai prediksi. Bagaimana jika angin itu diberi jalan? Akankah bisa ke arah yang diinginkan?. Aku di angka 20 sekarang.
Dari dulu aku selalu berpikir dan mencari mengenai kemampuan yang ada pada diriku. Apakah ada yang aku miliki selain hanya berusaha belajar di kampus. Belajar menghafal, membaca topik yang sebenernya aku tidak suka. Apakah ada bakat yang bisa aku punya. Sudah berpikir berpuluh – puluh kali, bahkan beratus – ratus kali. Tak ada hasil. Aku hanya bisa belajar di kampus, berorganisasi. Nothing. Tapi, pada dasarnya berpikir dan mencari celah tentang kemampuan itu tak ada guna.
Aku mencoba dan berlatih. Memikir tentang jawaban pertanyaan mengenai kelebihan diri sendiri itu hanya menyianyiakan waktu. Aku harus mulai aksi.
Dari SD, aku mempunyai cita – cita untuk mempunyai sebuah perpustakan, baik perpustakan pribadi, maupun perpustakan besar yang akan ada di beberapa kota di indonesia. Bermimpi secara nyata di dalam perpustakan tersebut ada banyak buku yang aku tulis sendiri. Mimpi membuat perpustakaan bermula ketika aku meminta buku bacaan, majalah, novel kepada kedua orang tuaku, tetapi mereka tak mengizinkan. Makhlumlah sewaktu itu orang tuaku juga bukan orang yang berkecukupan, selalu ngirit jika masalah mengeluarkan uang. Mereka lebih membeli barang – barang yang penting saja, seperti keperluan sekolah. Alhasil aku selalu tidak jajan atau menyisihkan uang jajan untuk menyewa majalah. Usia yang bertambah, bertambah pula keinginanku, yaitu keinginan untuk pempunyai perusahaan penerbitan dan percetakan sendiri. Bahkan, sampai sekarang mimpi itu terus berkembang dan bertambah. Aku mulai membuat daftar cita – citaku tersebut. Bisa sampai 100-an cita – cita. Namun, sampai sekarang aku tak tau bagaimana dan mulai dari mana aku harus mewujudkan ke 100-an cita – citaku tersebut. karena tak ada aksi, so nothing
Masa SD-ku juga diwarnai mimpi kedua selain mempunyai perpustakan, yaitu mempunyai panti asuhan atau anak asuh seperti yang dimiliki oleh Bunda Dorce Gamalama. Saat itu, aku sangat menjujung tinggi pendidikan. Menganggap bahwa sekolah itu adalah penting. Walaupun sebenernya nilai sekolahku terbilang buruk. Mencetusnya mimpi ini ketika aku berada di mobil Bude (ibu gedhe, kakak dari ibuku) dan saat itu mobil itu berhenti di perempatan rambu lampu merah. Ada beberapa anak jalanan mengetok jendela mobil. Anak jalanan itu bernyanyi. Entah apa yang dinyanyikan. Nenekku memberikan sejumlah uang receh kepada budeku untuk memberikan kepada anak jalanan itu. Pengamen kecil itu pergi. Kemudian nenekku bilang bahwa kenapa uangnya tidak dikumpulkan untuk sekolah. Aku hanya diam dan tak tau harus ikut berbicara apa. Pada kesempatan lain, pada kejadian yang mirip yaitu di perempetan jalan yang sama, bedanya saat itu aku bersama dengan papaku yang menggunakan sepeda motor bututnya, lalu aku berkata kata yang mirip diucapkan oleh nenekku. Dan sambil menunggu lampu lalu lintas bewarna hijau itu, papaku langsung menyahut, “mereka nyari duit buat makan aja susah, ko’ buat sekolah”. Aku hanya diam.
Banyak cita – cita yang aku tulis, tapi aku selalu takut jika harus mengungkapkan pada teman – teman, sodara, bahkan orang tuaku bahwa aku bercita – cita mempunyai ini itu, berkeinginan seperti ini, seperti itu. Takut mereka tertawa, takut mereka meremehkan diriku, takut, takut, takut. Oleh karena itu tak ada aksi dan realisasi sampai sekarang.
From now on, aku mulai berlatih menulis kembali, mulai menulis diary lagi yang sudah lama aku tinggalkan. Berusaha membuat strategi untuk mewujudkan semua cita – citaku yang ada didaftar. Tidak ada takut lagi. Semua hal tak akan pernah diketahui hasilnya sebelum dicoba dilakukan.