Selasa, 13 Juli 2010

Pernak-pernik dalam sebuah bis kota



Semua orang mengetahui jika naik bis kota atau semacam kendaraan yang bersifat ekonomi pasti mempunyai banyak realita kehidupan yang harus kita ketahui dan diambil hikmahnya. Bukan berarti dengan kendaraan umum yang lebih berkualitas mempunyai realitas kehidupan yang lebih sedikit, melainkan kita harus melihat dari sisi umum di masyarakat. Nah, dari sini saya ingin bercerita entang pegalaman pribadi saya berada di dalam bis kota selama sekitar 15 menit. Sangat singkat memang. Tapi cukuplah buat sekedar tahu.


Tepatnya tertanggal 14 mei 2010, saya berencana untuk pulang kampong ke madiun. Pastinya untuk melepas rindu kasihku kepada orang tua dan kedua adikku, serta ingin melihat keadaan kota madiun, kota dimana aku tumbuh besar hingga remaja. Perjalanan ke madiun akan kutempuh menggunakan kreta api mungkin kurang lebih selama 2,5 jam.Perjalanan 15 menit menuju stasiun inilah yang menurutku sangat membuatku terkejut karena baru kali ini aku temui.


Waktu itu, kota Jogjakarta diguyur hujan yang lumayan deras. Aku bersama kedua orang temanku nekad untuk berangkat karena takut jika tertinggal kereta yang pastinya tidak mau mengundur jadwal keberangkatan mereka untuk menunggu kami. Dengan sedikit basah kami menerobos hujan karena saat itu aku sendiri yang tidak mebawa payung, jadi aku bersama seorang temanku sedikit agak mesra dengan sepayung berdua. Kami bertiga pun menunggu bis kota di pinggir jalan. Waktu tunggu pun tak berlangsung lama, kami cepat mendapatkan bis kota Jogjakarta jalur 4, yaiyu jalur ke stasiun Tugu. Kami segera masuk ketika bis tersbut berhenti. Tak sengaja aku bertemu dngan teman sefakultasku dengan tujuan yang sama, yaitu ke PULANG KAMPUNG. Bedanya dia mau pergi ke Solo. Aku dan salah seorng temanku duduk sederet di bangku ke empat , tapi dengan terpisah jalan lewat. Tepat di depan bangkuku. Ada seorang ibu kira – kira berumur 35 tahun duduk sendiri di depan bangkuku yaitu di deret ketiga. Tanpa disadari karena kesibukanku mempersihkan air sisa – sisa kehujanan tadi, aku tidak mendengarkan celotehan ibu-ibu itu yang kukira sudah berceloteh lebih lama sebelum aku masuk ke dalam bis. Dan kali itu akhirnya aku mendengarnya. Bukannya aku sengaja menguping, tapi memang suara ibu itu sangat keras sehingga seluruh isi bis kecil itu dengar. Tapi herannya mereka tampak sangat menikmati suara itu. Aku pun juga turut menikmati walau tidak mengetahui wajah sang ibu. Celotehny memang terbilang sangat kasar. Pertama kali mendengarnya sangat ingin sekali membungkam mulutnya dan bertanya sebenernya siapa yang sedang dimarahinya. Ibu itu menyebutkan tentang uang, dia tidak mendaatkan uanglah, dia bekerja sangat keras, nanti akan melempar orang ke jalanlah, dikunci dikamar mandi dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaanku itu siapa yang akan dia hukum dan salah apa dia. Beberapa menit berjalan tapi suara kasarnya semakin menjadi. Aku sedikit gerah dengan diikuti gerakanku agak berdiri keatas. Dan ternyata kudapati disamping ibu itu terdapat anak kecil yang item, dekil dan kurus. Anak kecil itu terlihat sangat layu mendengarkan celotehan yang kukira adalah ibunya. Dia diam seribu bahasa dengan menundukkan kepalanya. Matanya agak sembab. Aku tak berani melihatnya lagi. Segera kualihkan pandanganku ke jalan. Kebetulan saat itu tepat berada di perempatan jalan lampu merah. Air mataku ingin keluar tapi rasanya aku segera menahannya dengan melakukan kegiatan lain.